Ada banyak faktor yang mempengaruhi kualitas seorang
akuntan publik dalam menjaga profesionalisme kerjanya. Faktor apa sajakah itu?
Silakan lanjutkan membaca sampai akhir J
Faktor-faktor tersebut antara lain:
Kualitas audit yang tinggi akan
menghasilkan laporan keuangan yang dapat dipercaya, melalui kompetensi
(keahlian) dan independensi (Christiawan 2002; AAA Financial Accounting Commite
2000), deteksi salah saji, kesesuaian dengan SPAP, kepatuhan terhadap SOP,
risiko audit, prinsip kehati-hatian, proses pengendalian atas pekerjaan oleh
supervisor, dan perhatian yang diberikan oleh manajer atau partner (Alim et al.
2007). Simamora (2002: 47) mengemukakan 8 prinsip yang harus dipatuhi akuntan
publik, yaitu tanggung jawab profesi, kepentingan publik, integritas,
objektivitas, kompetensi dan kehati-hatian profesional, kerahasiaan, perilaku
professional, serta standar teknis. Disamping itu akuntan publik harus
berpedoman pada Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang ditetapkan oleh
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), melalui Standar auditing diantaranya standar
umum, standar pekerjaan lapangan dan standar pelaporan (SPAP 2001).
Moizer (1986) menyatakan bahwa
pengukuran kualitas proses audit terpusat pada kinerja yang dilakukan auditor
dan kepatuhan pada standard yang telah digariskan. Penelitian Deis dan Giroux
(1992) menemukan lama hubungan dengan klien (audit tenure), jumlah klien,
telaah dari rekan auditor (peer review), ukuran dan kesehatan keuangan klien
serta jam kerja audit secara signifikan berhubungan dengan kualitas audit.
Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi kualitas audit adalah pendidikan,
struktur audit, kemampuan pengawasan (supervisor), profesionalisme dan beban
kerja. Semakin lama audit tenure, kualitas audit akan semakin menurun.
Sedangkan kualitas audit akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah
klien, reputasi auditor, kemampuan teknis dan keahlian yang meningkat.
Kompetensi Auditor Dalam
Pengetahuan dan Pengalaman Christiawan (2002) menekankan kompetensi berkaitan
dengan pendidikan dan pengalaman memadai yang dimiliki akuntan publik dalam
bidang auditing dan akuntansi. Sedangkan Mayangsari (2003) dalam Alim et al.
(2007) mengemukakan, kompetensi juga merupakan pengetahuan, ketrampilan, dan
kemampuan yang berhubungan dengan pekerjaan, serta kemampuan yang dibutuhkan
untuk pekerjaanpekerjaan non-rutin. Lee dan Stone (1995), mendefinisikan
kompetensi sebagai keahlian yang cukup yang secara eksplisit dapat digunakan
untuk melakukan audit secara objektif. Dreyfus dan Dreyfus (1986),
mendefinisikan kompetensi sebagai keahlian seseorang yang berperan secara
berkelanjutan yang mana pergerakannya melalui proses pembelajaran, dari
“mengetahui sesuatu“ ke “mengetahui bagaimana.“ Seperti misalnya dari sekedar
pengetahuan yang tergantung pada aturan tertentu kepada suatu pernyataan yang
bersifat intuitif.
Adapun Sri Lastanti (2005: 88)
mengartikan keahlian atau kompetensi sebagai seseorang yang memiliki
pengetahuan dan ketrampilan prosedural yang luas yang ditunjukkan dalam
pengalaman audit. Sementara itu dalam artikel yang sama, Shanteau (1987)
mendefinisikan keahlian sebagai orang yang memiliki keterampilan dan kemampuan
pada derajat yang tinggi. Ashton (1991) dalam Alim et al. (2007) menemukan
dalam literatur psikologi, dimana pengetahuan spesifik dan lama pengalaman
bekerja sebagai faktor penting untuk meningkatkan kompetensi. Pendapat ini
didukung oleh Kusharyanti (2003) yang menemukan bahwa auditor yang lebih
berpengalaman mempunyai pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan
sehingga keputusan yang diambil bisa lebih baik. Sementara itu, Alim et al.
(2007) mendapatkan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pengetahuan mengenai
spesifik tugas dapat meningkatkan kinerja auditor berpengalaman, walaupun hanya
dalam penetapan risiko analitis. Maka pencapaian kompetensi dapat dimulai
melalui pendidikan formal, yang diperluas melalui pengalaman-pengalaman
selanjutnya dalam praktik audit.
Untuk memenuhi persyaratan
sebagai akuntan publik yang pertama yaitu harus lulus Sarjana Ekonomi jurusan
Akuntansi, mengikuti Pendidikan Profesi Akuntan (PPA), mengikuti Ujian
Sertifikasi Akuntan Publik (USAP), dan memiliki gelar sertifikasi lisensi untuk
praktik yaitu Certified Public Accountant (CPA). Selain persyaratan tersebut
auditor juga harus menjalani pelatihan teknis yang cukup, pelatihan ini harus
secara memadai mencakup aspek teknis maupun pendidikan umum. Pendidikan formal
dan pengalaman profesional saling melengkapi satu sama lain. Berhubungan dengan
pengetahuan auditor dapat diukur dengan melihat seberapa tinggi pendidikan
seorang auditor karena dengan demikian auditor akan mempunyai semakin banyak
pengetahuan (pandangan) mengenai bidang yang digelutinya sehingga dapat
mengetahui berbagai masalah secara lebih mendalam, selain itu auditor akan
lebih mudah dalam mengikuti perkembangan yang semakin kompleks (Meinhard et.al.
1987 dalam Harhinto 2004: 35).
Maka Harhinto (2004) menemukan
bahwa pengetahuan akan mempengaruhi keahlian audit yang pada gilirannya akan
menentukan kualitas audit. Kusharyanti (2003) mengemukakan terdapat 5
pengetahuan yang harus dimiliki oleh seorang auditor, yaitu pengetahuan
pengauditan umum, pengetahuan area fungsional, pengetahuan mengenai isu-isu
akuntansi yang paling baru, pengetahuan mengenai industri khusus, dan
pengetahuan mengenai bisnis umum serta penyelesaian masalah. Murtanto dan
Gudono (1999) menekankan pada 2 pandangan dalam pengetahuan auditor, yaitu,
pertama, pandangan perilaku terhadap keahlian yang didasarkan pada paradigma
einhorn. Pandangan ini bertujuan untuk menggunakan lebih banyak criteria
objektif dalam mendefinisikan seorang ahli.
Kedua, pandangan kognitif yang
menjelaskan keahlian dari sudut pandang pengetahuan. Pengetahuan diperoleh
melalui pengalaman langsung (pertimbangan yang dibuat di masa lalu dan umpan
balik terhadap kinerja) dan pengalaman tidak langsung (pendidikan). Pengalaman Kerja Auditor Pengalaman auditor
yaitu kegiatan melakukan audit laporan keuangan baik dari segi lamanya waktu
maupun banyaknya penugasan yang pernah ditangani. Libby and Frederick (1990)
menemukan bahwa semakin banyak pengalaman auditor semakin dapat menghasilkan
berbagai macam dugaan dalam menjelaskan temuan audit. Harhinto (2004) menemukan
bahwa pengalaman auditor berhubungan positif dengan kualitas audit. Bahan Tubbs
(1992) dalam Mayangsari (2003) mengemukakan bahwa auditor yang berpengalaman
memiliki keunggulan dalam mendeteksi kesalahan, memahami kesalahan secara
akurat, serta mencari penyebab kesalahan, serta pemahaman yang lebih baik (Kusharyanti
2002: 5). Jeffrey (1996) mengemukakan bahwa seseorang yang lebih banyak
pengalaman dalam suatu bidang substantif memiliki lebih banyak hal yang
tersimpan dalam ingatannya dan dapat mengembangkan suatu pemahaman yang baik
mengenai peristiwa-peristiwa.
Butt (1988) mengungkapkan bahwa
akuntan pemeriksa yang berpengalaman akan membuat judgment yang relatif lebih
baik dalam tugas-tugas profesional ketimbang akuntan pemeriksa yang belum
berpengalaman, Marchant G.A. (1989) menemukan bahwa akuntan pemeriksa yang
berpengalaman mampu mengidentifikasi secara lebih baik mengenai
kesalahan-kesalahan dalam telaah analitik. Akuntan pemeriksa yang berpengalaman
juga memperlihatkan tingkat perhatian selektif yang lebih tinggi terhadap
informasi yang relevan (Davis 1996). Tubbs (1992) menemukan dalam salah satu
penelitiannya bahwa akuntan pemeriksa yang berpengalaman menjadi sadar mengenai
kekeliruan-kekeliruan yang tidak lazim. Maka auditor harus mampu memberi
penjelasan yang masuk akal atas kesalahan-kesalahan dalam laporan keuangan dan
dapat mengelompokkan kesalahan berdasarkan pada tujuan audit dan struktur dari
sistem akuntansi yang mendasari (Libby et. A.l 1985) dalam Mayangsari (2003:
4).
Idenpendensi Auditor Independen
berarti akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan
memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan
pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik
(Christiawan 2002). Menurut Mulyadi (1998), faktor yang dapat mempengaruhi
independensi akuntan publik beberapa diantaranya adalah hubungan keuangan
dengan klien, kedudukan dalam perusahaan, keterlibatan dalam usaha yang tidak
sesuai dengan klien dan tidak konsisten, pelaksanaan jasa lain untuk klien
audit, hubungan keluarga dan pribadi, imbalan atas jasa profesional, penerimaan
barang atau jasa dari klien, pemberian barang atau jasa kepada klien.
Penelitian Shockley (1981) menemukan empat faktor yang mempengaruhi
independensi akuntan publik yang meliputi: persaingan antar akuntan publik,
pemberian jasa konsultasi manajemen kepada klien, ukuran kantor akuntan publik,
hubungan yang lama antara kantor akuntan publik dengan klien. Indah, (2010)
mengkategorikan independensi kedalam dua aspek, yaitu independensi dalam
kenyataan (independence in fact) dan independensi dalam penampilan (independence
in appearance). Harhinto (2004), mengkategorikan independensi auditor mencakup
dua aspek, yaitu independensi dalam sikap mental berarti adanya kejujuran dalam
diri auditor untuk mempertimbangkan yang objektif, tidak memihak dalam
merumuskan dan menyatakan pendapatnya; independensi penampilan berarti adanya
kesan masyarakat bahwa auditor independen bertidak bebas atau independen,
sehingga auditor harus menghindari keadaan atau faktor yang menyebabkan
masyarakat meragukan kebebasannya. Penelitian AAA Financial Accounting
Standards Committee (2000) terhadap independensi menunjukkan bahwa dalam
mengambil keputusan, akuntan publik dipengaruhi oleh dorongan untuk
mempertahankan klien auditnya. Hasil penelitian juga memberikan bukti bahwa
pengaruh budaya masyarakat atau organisasi terhadap pribadi akuntan publik akan
mempengaruhi sikap independensi akuntan publilk.
Independensi akuntan publik sama
pentingnya dengan keahlian dalam praktik akuntansi dan prosedur audit yang
harus dimiliki oleh setiap akuntan publik. Akuntan publik harus independen dari
setiap kewajiban atau independen dari pemilikan kepentingan dalam perusahaan
yang diauditnya. Di samping akuntan publik harus benar-benar independen, ia
juga harus menimbulkan persepsi di kalangan masyarakat bahwa ia benar-benar
independen. Lavin (1976) menemukan 3 faktor yang mempengaruhi independensi
akuntan publik, yaitu ikatan keuangan dan hubungan usaha dengan klien,
pemberian jasa lain selain jasa audit kepada klien, dan lamanya hubungan antara
akuntan publik dengan klien. Shockley (1981) menemukan 4 faktor yang
mempengaruhi independensi, yaitu persaingan antar akuntan publik, pemberian
jasa konsultasi manajemen kepada klien, pengalaman kerja, dan lamanya hubungan
audit.
Etika Auditor Etika didefinisikan
sebagai nilai-nilai tingkah laku atau aturan aturan tingkah laku yang diterima
dan digunakan oleh suatu golongan tertentu atau individu (Sukamto, 1991: 1).
Etika sebagai seperangkat prinsip-prinsip moral atau nilai-nilai (Alvin A.
Arens, at al. 2008). Sedangkan Maryani dan Ludigdo (2001) dalam Alim, et al.
(2007) mendefinisikan etika sebagai seperangkat aturan atau norma atau pedoman
yang mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus
ditinggalkan yang dianut oleh sekelompok atau segolongan manusia atau
masyarakat atau profesi. Menurut Suseno Magnis (1989: 14) dan Sony Keraf (1991:
20) bahwa untuk memahami etika perlu dibedakan dengan moralitas. Moralitas
adalah suatu sistem nilai tentang bagaimana seseorang harus hidup sebagai
manusia. Sistem nilai ini terkandung dalam ajaran-ajaran, moralitas memberi
manusia aturan atau petunjuk konkrit tentang bagaimana harus hidup, bagaimana
harus bertindak dalam hidup ini sebagai manusia yang baik dan bagaimana
menghindari perilakuperilaku yang tidak baik. Sedangkan etika berbicara
mengenai nilai dan norma moral yang menentukan perilaku manusia dalam hidupnya.
Dimensi etika yang sering digunakan dalam penelitian adalah 1) kepribadian yang
terdiri dari locus of control external dan locus of control internal; 2)
kesadaran etis dan 3) kepedulian pada etika profesi, yaitu kepedulian pada kode
etik IAI yang merupakan panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang
berpraktek sebagai akuntan publik, bekerja dilingkungan usaha pada instansi
pemerintah maupun dilingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung jawab
profesionalnya. Untuk tujuan itu terdapat empat kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi yaitu kredibilitas, profesionalisme, kualitas jasa dan kepercayaan.
Prinsip etika profesi dalam Kode
Etik IAI diantaranya adalah tanggung jawab professional, kepentingan publik
integritas, objektifitas, kompetensi dan kehati-hatian professional,
kerahasiaan, perilaku professional, standar teknis, harus melaksanakan
pekerjaan sesuai dengan standar teknis dan standar profesional yang telah
ditetapkan. Dalam menjalankan profesinya, seorang akuntan diatur oleh suatu
kode etik akuntan. Kode Etik Profesi Akuntan Publik (Kode Etik) berisi prinsip
dasar dan aturan etika profesi yang harus diterapkan oleh setiap individu dalam
kantor akuntan publik (KAP) atau jaringan KAP, baik yang merupakan anggota
Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI) maupun yang bukan merupakan anggota
IAPI, yang memberikan jasa professional yang meliputi jasa assurance dan jasa
selain assurance. Dalam penelitiannya, Alim et al. (2007) mengemukakan empat
hal yang digunakan sebagai indikator etika auditor yaitu (1) imbalan yang diterima,
(2) pengaruh organisasional, (3) lingkungan keluarga, dan (4) emotional
quotient. HIPOTESIS a. Kompetensi, independensi dan pengalaman kerja
berpengaruh secara simultan dan parsial terhadap kualitas audit. Etika auditor
dapat memoderasi hubungan kompetensi, independensi dan pengalaman kerja dengan
kualitas audit.
DAFTAR PUSTAKA:
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/akuntan/article/viewFile/422/pdf_54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih telah mengunjungi blog saya . Jangan sungkan untuk berkomentar agar saya dapat memperbaiki tulisan saya ..thanks .. Success Friends ..